Konflik Lahan di Teluk Mata Ikan, Nongsa: Antara Ganti Rugi, Harga Diri, dan Kewenangan Negara

Batam, Sidikfokus.id – 16 April 2025

Ketegangan kembali mencuat di kawasan Teluk Mata Ikan, Nongsa, Kota Batam, menyusul proses penggusuran lahan oleh tim terpadu yang dikomandoi oleh Bapak Kurniawan. Proses ini bagian dari proyek perluasan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang menjadi prioritas strategis pemerintah melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam. Namun, konflik kepentingan antara pemilik lahan dan otoritas berwenang memunculkan dinamika yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.

Bapak Kurniawan selaku ketua tim terpadu menyampaikan bahwa proses negosiasi dan kompensasi telah dilakukan kepada pihak yang mengklaim kepemilikan lahan. “Kami sudah berikan kompensasi atau ganti rugi sebesar Rp230 juta. Kami rasa itu bentuk tanggung jawab kami secara manusiawi. Bahkan, kami sudah perjuangkan kepentingan Bapak Alamsyah dengan pihak perusahaan. Kalau ada ketidakpuasan, silakan tempuh jalur hukum,” tegas Kurniawan.

Namun, suasana memanas ketika Bapak Alamsyah, yang mengaku sebagai pemilik sah lahan tersebut, menantang legalitas proses penggusuran, mempertanyakan keberadaan surat perintah resmi dan menuduh tim terpadu bersikap sewenang-wenang. Dalam perdebatan yang terekam oleh sejumlah saksi, Alamsyah menuding bahwa tindakan penggusuran ini mencerminkan tindakan ‘barbar’ yang merendahkan harkat pemilik tanah.

“Saya bukan soal uang Rp200 atau 300 jutanya. Ini soal marwah saya. Saya tidak lawan, saya tidak bawa senjata atau kekerasan, tapi saya bawa orang yang punya tanahnya. BP Batam itu pengelola, bukan pemilik. Tapi kalau main paksa seperti ini, jangan salahkan kalau nanti ada perlawanan,” tegas Alamsyah dengan nada emosional.

Kurniawan kemudian menunjukkan surat tugas yang menjadi dasar pelaksanaan penggusuran, yang disebutkan berasal dari direktur yang berwenang di BP Batam. Ia menegaskan bahwa seluruh prosedur telah dijalankan sesuai aturan dan menyatakan bahwa pihaknya hanya menjalankan perintah berdasarkan penugasan formal.

Di sisi lain, tim terpadu yang terdiri dari berbagai unsur — yakni kepolisian, kejaksaan, Satpol PP Pemko Batam, dan perwakilan BP Batam — menurunkan sekitar 375 personel dalam operasi ini. Salah satu anggota tim yang enggan disebutkan namanya menyampaikan bahwa kawasan Teluk Mata Ikan telah ditetapkan sebagai bagian dari KEK, dan hal ini tidak dapat ditawar-tawar.

“Ini keputusan negara. Kami hanya menjalankan tugas. Tapi kami juga manusia. Kami selalu upayakan musyawarah sebelum tindakan. Tidak ada niat menggusur secara sepihak,” katanya.

Sebelumnya, pertemuan antara Bapak Alamsyah dengan Wali Kota Batam sekaligus Ketua BP Batam, Bapak Amsakar, disebut telah menghasilkan kesepakatan kenaikan nilai ganti rugi menjadi Rp250 juta. Namun, pihak tim terpadu tetap berpegang pada klaim bahwa lahan tersebut sebenarnya telah diganti rugi kepada pemilik sahnya, Pak Maskur, sesuai dokumen yang dimiliki perusahaan dan BP Batam.

“Yang memiliki alas hak adalah Pak Maskur. Kami sudah selesaikan ganti rugi sesuai aturan. Tidak ada yang kami langgar,” jelas Kurniawan dalam klarifikasinya kepada Alamsyah.

Kasus ini mencerminkan betapa peliknya persoalan pertanahan di kawasan yang sedang berkembang pesat seperti Batam. Ketika kepentingan pembangunan dan investasi berhadapan langsung dengan hak-hak masyarakat lokal, dibutuhkan pendekatan yang lebih dari sekadar formalitas hukum. Diperlukan ruang dialog yang jujur dan transparan, agar penyelesaian tidak hanya legal secara dokumen, tapi juga adil di mata masyarakat.

BP Batam, sebagai otoritas yang ditugaskan negara untuk mengelola pengembangan wilayah ini, diharapkan mampu menjadi jembatan yang menjamin keterwakilan kepentingan semua pihak — termasuk mereka yang selama puluhan tahun telah bermukim dan menggantungkan hidupnya dari tanah tersebut.

Penyelesaian yang adil dan bermartabat tidak hanya akan memperkuat legitimasi proyek-proyek strategis nasional, tetapi juga menjaga stabilitas sosial di tengah ambisi besar menjadikan Batam sebagai pusat ekonomi unggulan di wilayah barat Indonesia. (Yti/ARF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *