KBDM Cabut Gelar Kehormatan Investor Asal Melaka, Tegaskan Kedaulatan Adat dan Warisan Sejarah
Bintan.sidikfokus.id.—Dalam sebuah keputusan yang menggemparkan jagat adat dan budaya Melayu di Kepulauan Riau, Istana Kesultanan Bintan Darul Masyhur (KBDM) secara resmi mencabut dua gelar kehormatan yang sebelumnya dianugerahkan kepada seorang investor asal Melaka, Zulkifli bin Ibrahim. Keputusan tersebut diumumkan oleh Pengerusi Istana KBDM, M. Awang Ali, dalam pertemuan khusus yang dilangsungkan pada 23 April 2025 di Kota Kara, Kabupaten Bintan.
Pencabutan gelar ini tidak dilakukan secara gegabah. Dalam siaran pers yang diterima redaksi, Istana KBDM menyatakan bahwa pencabutan gelar Darjah Kebesaran Mahkota Bentan Yang Amat Mulia Sri Indera Mahkota Bentan (S.I.M.B) bergelar Dato Sri, yang diberikan kepada Zulkifli pada tahun 2023, dan gelar Kerabat Diraje Bentan (D.K.B.II) yang diterima pada tahun 2024, telah disahkan dan berlaku efektif mulai 23 April 2025.
Keputusan ini merupakan langkah penting dan penuh pertimbangan yang diambil melalui musyawarah bersama antara pihak istana dengan berbagai elemen adat, termasuk Perkumpulan Zuriat Bentan, Zuriat Kerajaan Bentan Al-Zaman dari garis keturunan Tun Telanai, serta Waris Delapan dari Datok Kaya Indra Jaya di Penaong Desa Penaga. Ketiga kelompok adat tersebut merupakan bagian dari lembaga masyarakat adat yang masih setia menjaga struktur, nilai, dan warisan Kesultanan Bintan Darul Masyhur.
Pengerusi Istana, M. Awang Ali, dalam pernyataannya menegaskan bahwa pencabutan ini bertujuan menjaga marwah dan martabat lembaga adat di bawah kepemimpinan Sri Paduka Tri Buana Sultan Haji Huzrin Hood. Dalam nada tegas, ia menyampaikan bahwa ruang untuk menghormati sejarah dan budaya Bintan selalu terbuka bagi siapa pun, namun garis batas antara yang sah dan yang menyimpang harus tetap jelas dan dijaga dengan penuh tanggung jawab.
“Kami tidak menghalangi siapa pun untuk mengangkat sejarah dan kebudayaan Bintan. Silakan berusaha, berserikat dan berkumpul. Namun garisnya harus jelas, mana yang merupakan bagian dari kami dan mana yang bukan,” ujar M. Awang Ali.
Keputusan ini juga muncul sebagai respons terhadap upaya pembentukan entitas tandingan yang dinilai menyimpang dari struktur sah Kesultanan Bintan. Salah satunya adalah entitas yang mengatasnamakan Kedatuan Bintan Kesultanan Bintan Darul Masyhur, yang dipimpin oleh M. Amin. Pihak istana menilai bahwa langkah tersebut merupakan bentuk pembelokan terhadap struktur adat yang sah, mengingat M. Amin sendiri tercatat pernah menjadi bagian dari pemberian gelar kepada Sri Paduka Tri Buana pada tahun 2011.
Menurut sumber internal istana, M. Amin adalah salah satu dari para tokoh yang menandatangani Surat Amanah Zuriat Tun Telanai pada 4 Djumadil Awal 1432 H (9 April 2011), yang mengukuhkan gelar Sri Paduka Tri Buana kepada Haji Huzrin Hood. Oleh sebab itu, secara moral maupun historis, ia dinilai tidak memiliki dasar untuk mengambil keputusan sepihak yang berkaitan dengan pencabutan gelar adat atau pengakuan struktur tandingan.
Istana KBDM juga menegaskan bahwa gelar “Dato Sri” yang mungkin masih disandang Zulkifli bin Ibrahim dari negara bagian lain, tidak lagi memiliki keterkaitan atau afiliasi dengan Kesultanan Bintan Darul Masyhur. Gelar adat merupakan bentuk kehormatan simbolik yang mengikat, tidak hanya kepada individu penerima, tetapi juga kepada nilai-nilai luhur, kesetiaan, dan integritas terhadap lembaga adat yang memberikannya.
Langkah tegas ini dinilai sebagai bentuk konsolidasi dan afirmasi kembali terhadap nilai-nilai adat yang menjadi pondasi Kesultanan Bintan. Dalam momentum penting ini, menjelang peringatan 865 tahun sejarah Kerajaan Bintan yang akan diselenggarakan pada bulan Muharram mendatang, Kesultanan Bintan menegaskan kembali posisinya sebagai penjaga peradaban dan identitas Melayu di wilayah perbatasan Indonesia. Dengan mengusung tema “Dari Sini Darah dan Jejak Peradaban Melayu Mengalir”, acara tersebut akan menjadi refleksi mendalam terhadap perjalanan panjang Bintan sebagai pusat peradaban maritim Melayu.
Pengerusi M. Awang Ali juga menambahkan bahwa pencabutan ini bukan hanya tindakan administratif, melainkan pernyataan kultural dan politik yang menandai pentingnya menjaga otoritas dan integritas lembaga adat di tengah perubahan zaman.
Dengan keputusan ini, Istana KBDM berharap masyarakat adat, generasi muda, dan pemangku kepentingan lainnya dapat melihat kembali pentingnya kesetiaan terhadap nilai-nilai tradisi, serta menjunjung tinggi martabat warisan budaya yang menjadi akar jati diri masyarakat Melayu di Kepulauan Riau. (Yti/ ARF)