Menggali makna literasi dan kearifan budaya di kaki gunung: Suara Prof. Dr. Much. Khoiri di hadapan wartawan Indonesia
Bedugul, Bali — sidikfokus.id – Udara sejuk dataran tinggi, bisik angin yang menyapu permukaan Danau Beratan, serta harum dupa dari Pura Ulun Danu Beratan menciptakan suasana magis saat dua tokoh penting bertemu dalam momen penuh makna: Nursalim Turatea, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia Provinsi Kepulauan Riau sekaligus Ketua Afiliasi Pengajar, Peneliti budaya, Bahasa, Sastra, Komunikasi, Seni dan Desain (APEBSKID) Kepri, dan Prof. Dr. Much. Khoiri, M.Si., akademisi dan tokoh literasi nasional yang dikenal luas sebagai penggerak kebudayaan dan pemikiran humanistik di Indonesia.
Di tengah panorama spiritual dan kearifan lokal Bali, wawancara eksklusif berlangsung sarat makna. Prof. Khoiri membuka percakapan dengan menegaskan bahwa literasi tidak hanya berbicara soal kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga tentang pemahaman nilai, penghayatan konteks budaya, dan penghormatan terhadap warisan leluhur.
“Literasi adalah laku hidup. Ia hadir dalam cara kita menyimak alam, memahami sejarah, dan menata masa depan. Di Pura Ulun Danu Beratan ini, kita belajar dari narasi lama tentang keserakahan manusia yang membawa kehancuran, dan bagaimana pertobatan menghadirkan kesucian baru,” tutur Prof. Khoiri, memaknai simbolisme budaya dari pura yang seolah terapung di atas danau itu.
Ulun Danu Beratan, teks budaya yang hidup
Pura Ulun Danu Beratan menurut Prof. Khoiri, bukan sekadar destinasi wisata atau tempat ibadah. Ia adalah “teks budaya” sebuah ruang yang menuturkan hikmah, membingkai peristiwa masa lalu, dan mengajarkan relasi harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Kisah desa yang tenggelam karena keserakahan menjadi alegori penting dalam membangun kesadaran ekologis generasi sekarang.
“Tempat ini mengajak kita membaca ulang nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah refleksi yang sangat relevan di tengah zaman yang kerap lupa daratan,” imbuhnya dengan nada penuh permenungan.
Wartawan sebagai penjaga peradaban
Menanggapi pandangan tersebut, Nursalim Turatea menegaskan bahwa wartawan hari ini tidak cukup hanya menjadi pelapor informasi, tetapi harus bertransformasi menjadi penyampai nilai dan penjaga peradaban. Menurutnya, media harus memainkan peran strategis dalam membumikan literasi budaya dan memperluas cakrawala berpikir masyarakat.
“Wartawan mesti menjadi pemantik kesadaran, bukan sekadar saksi mata. Kita harus menulis dengan semangat membangun jiwa bangsa, mengangkat kearifan lokal, dan mempertemukan generasi dengan akarnya,” ujarnya dengan tegas.
Sebagai seorang pendidik, Nursalim menambahkan bahwa penting bagi kurikulum pendidikan bahasa dan jurnalistik untuk menyisipkan unsur literasi budaya yang kontekstual, terutama di wilayah perbatasan seperti Kepulauan Riau yang kaya dengan tradisi namun kerap terpinggirkan dalam narasi nasional.
Menulis untuk mengakar, membaca untuk beradab
Prof. Khoiri kemudian mengingatkan bahwa tantangan terbesar dunia literasi saat ini bukan pada akses, melainkan pada ketertarikan generasi muda untuk membaca secara mendalam dan menulis secara reflektif.
“Literasi itu upaya memanusiakan manusia. Jika kita hanya menjadi konsumen informasi, tanpa proses berpikir, kita akan tercerabut dari sejarah dan nilai,” katanya sambil menatap permukaan air danau yang tenang, seolah mengajak merenung.
Ia mengajak para wartawan dan pendidik untuk tidak berhenti menulis tentang nilai, sejarah, dan budaya. Menurutnya, menulis bukan hanya soal teknik, tetapi soal keberanian menghidupkan kembali narasi yang menyehatkan batin bangsa.
Sinergi media dan akademisi: dari Bali untuk Nusantara
Menutup pertemuan yang hangat itu, Nursalim dan Prof. Khoiri sepakat bahwa sinergi antara media, akademisi, dan masyarakat adalah fondasi penting dalam membangun peradaban literat. Mereka menggagas rencana kerja sama strategis antara IWO Indonesia Kepri dan institusi pendidikan guna menyelenggarakan pelatihan literasi budaya dan penulisan kreatif, terutama menyasar generasi muda di kawasan Indonesia timur dan daerah pesisir.
“Dari Bali kita mulai, tapi ini bukan akhir. Kita ingin menyalakan kembali api literasi yang menyala dari kampung-kampung, sekolah, dan ruang-ruang diskusi di seluruh Nusantara,” pungkas Nursalim penuh optimisme.(Redaksi).