Aset Kota Tanjungpinang Masih Dikuasai Kabupaten Bintan, Penegakan Hukum Mandek
FOKUS SIDIK.ID, TANJUNGPINANG — Persoalan aset daerah kembali mencuat ke permukaan sebagai simbol kebuntuan tata kelola pemerintahan daerah yang berpihak pada kepentingan kekuasaan sempit, alih-alih pelayanan publik yang berintegritas. Salah satu kasus yang kini menjadi perhatian publik adalah masih dikuasainya sejumlah aset yang secara geografis berada di wilayah administrasi Kota Tanjungpinang, namun masih dikelola oleh PT Bintan Inti Sukses (PT BIS) — Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Kabupaten Bintan.
Permasalahan ini menyeruak tidak hanya karena aspek administratif yang keliru, melainkan juga karena dugaan penyimpangan besar-besaran terhadap hukum pengelolaan barang milik daerah. Bahkan, aliansi Gerakan Bersama Kepri (Geber Kepri) menyebutnya sebagai bentuk tertinggi dari korupsi terselubung—“mahkota dari penyimpangan kewenangan jabatan.”
Secara hukum, dasar pengelolaan aset sudah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 11 dan 14 mengatur bahwa pembagian urusan pemerintahan disesuaikan dengan wilayah administrasi. Pasal 354 hingga 355 secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan barang milik daerah harus tunduk pada batas kewenangan wilayah masing-masing pemerintah daerah. Dalam konteks ini, aset yang berada di wilayah Kota Tanjungpinang seharusnya menjadi tanggung jawab dan wewenang Pemerintah Kota Tanjungpinang, bukan Kabupaten Bintan.
Pelanggaran administratif ini diperparah dengan kenyataan bahwa terdapat lebih dari 30 item aset non-fasilitas pemerintah — seperti ruko dan hotel — yang hingga kini masih dikelola oleh PT BIS dengan potensi keuntungan indevinden mencapai miliaran rupiah per bulan. Sementara di sisi lain, Walikota Tanjungpinang justru harus memutar otak untuk mengumpulkan retribusi dari para pedagang kaki lima di depan pertokoan. Sebuah ironi yang mempertontonkan ketimpangan pengelolaan potensi pendapatan daerah.
Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah mengatur bahwa aset antar pemerintah daerah bisa dialihkan melalui hibah, tukar-menukar, atau pemindahtanganan. Dengan dasar hukum ini, mestinya tidak sulit bagi Pemerintah Kabupaten Bintan untuk menyerahkan aset yang tidak lagi menunjang tugas dan fungsi kabupaten kepada Pemko Tanjungpinang. Apalagi, keberadaan aset-aset itu kini lebih relevan dan strategis untuk digunakan dalam konteks tata ruang dan perencanaan wilayah Kota Tanjungpinang, sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria dan PP Nomor 27 Tahun 2014.
Namun kenyataannya, proses serah terima tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kepala Bidang Aset Pemko Tanjungpinang, Elin, mengonfirmasi bahwa meskipun beberapa aset telah dilakukan serah terima, tidak sedikit pula yang kemudian dikembalikan lagi ke Kabupaten Bintan. Lebih lanjut, banyak aset yang dikelola PT BIS saat ini belum pernah melewati proses transparansi publik, dan bahkan sejumlah kasus terkait aset ini mandek di meja Kejaksaan Negeri Tanjungpinang tanpa kejelasan hukum hingga hari ini.
Hal ini memicu keprihatinan Ketua DPRD Kota Tanjungpinang, yang menyatakan bahwa seharusnya satu tahun setelah pengesahan pembentukan Kota Tanjungpinang sebagai daerah otonom, aset-aset di wilayah administratifnya sudah diserahkan sepenuhnya dari Kabupaten Bintan. Namun, kenyataan yang dihadapi sangat jauh dari harapan.
Dalam waktu dekat, Rapat Dengar Pendapat (RDP) akan digelar sebagai upaya konkret untuk menyelesaikan permasalahan aset ini secara transparan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. RDP akan mengundang unsur-unsur penting seperti pihak PT BIS, Bagian Aset Pemkab dan Pemko, Komisi I dan II DPRD Kota Tanjungpinang, serta aparat penegak hukum (APH).
Inisiasi ini lahir dari tekanan moral dan advokasi publik yang dilakukan oleh Aliansi Gerakan Bersama Kepri. Mereka menegaskan bahwa bentuk paling tinggi dari korupsi bukan sekadar penyalahgunaan dana operasional atau mark-up proyek, tetapi penguasaan dan penggelapan aset daerah secara sistematis, serta upaya penggadaian aset demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Lebih dari sekadar nilai ekonomi, aset-aset ini memiliki makna strategis dalam pembangunan kota dan pelayanan publik. Penguasaan aset oleh entitas yang tidak memiliki kewenangan wilayah tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai semangat otonomi daerah yang seharusnya berpijak pada asas keadilan, efisiensi, dan akuntabilitas.
Kini, tanggung jawab besar berada di pundak para pemangku kebijakan di Kota Tanjungpinang. Mereka tidak hanya ditantang untuk mengambil alih kembali aset yang menjadi hak daerah, tetapi juga untuk menegakkan supremasi hukum dan membongkar setiap praktik penyimpangan yang merugikan rakyat. Audit independen dan keterlibatan aparat penegak hukum yang benar-benar berintegritas menjadi kunci utama agar ‘mahkota korupsi’ ini dapat dicopot dan dituntaskan hingga ke akar.(Yti/ARF)