Teka-teki Perobohan Hotel Purajaya Batam: Kontroversi Hukum dan Indikasi Pelemahan Penegakan Keadilan

Batam, sidikfokus.id – Perobohan Hotel Purajaya Batam masih menyisakan banyak tanda tanya. Kasus ini bukan sekadar tentang bangunan yang diratakan, tetapi juga menjadi gambaran tentang lemahnya supremasi hukum di Kota Batam. Peristiwa ini menimbulkan polemik berkepanjangan karena dilakukan saat sengketa hukum masih berlangsung di Pengadilan Negeri Batam, baik dalam ranah perdata maupun pidana.

Berdasarkan komunikasi melalui WhatsApp, Sidikfokus mendapatkan konfirmasi dari pihak yang bersengketa bahwa tindakan perobohan tersebut dianggap ilegal. Keputusan untuk merobohkan hotel diambil tanpa dasar hukum yang jelas, bahkan dilakukan ketika proses hukum masih berjalan. Yang lebih mencengangkan, eksekusi perobohan ini justru mendapat pengawalan ketat dari aparat gabungan yang terdiri dari Polisi, TNI, Ditpam, dan Satpol PP dalam tim terpadu yang diketuai oleh Kasatpol PP Kota Batam, Imam Tohari.

Keberadaan tim terpadu dalam peristiwa ini menjadi pertanyaan besar. Mengapa mereka turut serta dalam eksekusi yang tidak didasarkan pada putusan pengadilan? Dalam sistem hukum yang ideal, eksekusi sebuah bangunan yang masih dalam sengketa seharusnya menunggu keputusan inkrah dari pengadilan, bukan dilakukan berdasarkan instruksi dari pihak tertentu yang belum memiliki legitimasi hukum yang sah.

Tindakan ini menimbulkan dugaan kuat bahwa aparat yang terlibat dalam eksekusi perobohan Hotel Purajaya Batam harus mempertanggungjawabkan langkah mereka. Penegakan hukum yang seharusnya berjalan sesuai prosedur justru diabaikan. Jika memang ada keputusan yang menjadi dasar perobohan tersebut, seharusnya hal itu bersumber dari pengadilan, bukan dari eksekusi administratif yang dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.

Dalam upaya mengklarifikasi peran tim terpadu dalam peristiwa ini, Sidikfokus menghubungi Kasatpol PP Kota Batam, Imam Tohari. Saat ditanya mengenai peranannya dalam perobohan hotel tersebut, Imam Tohari mengarahkan pertanyaan kepada Ditpam BP Batam, seolah ingin menegaskan bahwa kewenangan utama berada di bawah institusi tersebut.

Ketika ditanya lebih lanjut apakah ia siap jika dilaporkan terkait tindakan perobohan ini, Imam Tohari dengan tegas menjawab, “Silakan.” Pernyataan ini menegaskan bahwa ia bersedia menghadapi konsekuensi hukum atas keterlibatannya dalam eksekusi tersebut. Namun, pernyataan tersebut juga semakin memperjelas bahwa ada ketidaksepahaman antara berbagai pihak mengenai legalitas dan dasar hukum dari tindakan perobohan yang telah terjadi.

Dugaan ketidakadilan semakin diperkuat dengan kabar bahwa laporan yang telah diajukan ke Polda Kepulauan Riau terkait kasus ini justru tidak menunjukkan perkembangan berarti. Sumber terpercaya menyebutkan bahwa laporan tersebut tampaknya berjalan di tempat tanpa ada tindak lanjut yang jelas dari aparat penegak hukum.

Situasi ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada intervensi atau tekanan dari pihak tertentu yang menyebabkan laporan ini tidak segera diproses. Jika benar, maka ini menjadi pukulan telak bagi sistem penegakan hukum di Batam. Harapan terhadap keadilan dan supremasi hukum semakin meredup ketika aparat yang seharusnya melindungi hak warga justru tampak mengabaikan proses hukum yang berlaku.

Kasus perobohan Hotel Purajaya Batam bukan hanya soal sengketa lahan, tetapi juga menjadi cerminan bagaimana hukum bisa diabaikan ketika kepentingan tertentu bermain di belakang layar. Peristiwa ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum, ketidakkonsistenan dalam eksekusi putusan pengadilan, serta dugaan penyalahgunaan wewenang oleh aparat yang seharusnya menjaga netralitas dalam perkara hukum.

Jika supremasi hukum masih ingin ditegakkan, maka kasus ini harus diusut secara transparan. Aparat penegak hukum, mulai dari Polda Kepulauan Riau, Kejaksaan, hingga Pengadilan Negeri Batam, harus menunjukkan keberpihakannya pada hukum dan keadilan, bukan pada kepentingan pihak tertentu yang memiliki kuasa lebih besar.

Dalam waktu dekat, pihak yang merasa dirugikan dalam kasus ini berencana untuk melaporkan Imam Tohari sebagai Ketua Tim Terpadu yang menjalankan eksekusi tanpa dasar hukum yang sah. Langkah ini menjadi ujian bagi sistem hukum di Batam, apakah keadilan masih bisa diperjuangkan atau justru semakin tenggelam dalam permainan kepentingan. (Yanti/ARF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *