Gonjang-Ganjing Pemekaran Natuna-Anambas: Manuver Politik Tanpa Paripurna
Tanjungpinang, 13 Maret 2025 – Wacana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Natuna-Anambas kembali menuai kontroversi. Dugaan bahwa Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau menginisiasi pemekaran ini tanpa melalui sidang paripurna memicu perdebatan tajam. Jika benar adanya, ini adalah pelanggaran serius terhadap mekanisme tata tertib DPRD yang mengatur bagaimana keputusan strategis seharusnya diambil secara kolektif.
Dorongan politik untuk membentuk Provinsi Natuna-Anambas tampaknya lebih berorientasi pada kepentingan elite dibandingkan kesejahteraan rakyat. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jelas mengatur bahwa pemekaran wilayah harus melalui serangkaian persyaratan administratif, teknis, dan kewilayahan. Namun, dalam kasus ini, wacana pemekaran tampak lebih sebagai ajang kepentingan politik dibandingkan kebutuhan riil masyarakat.
Ambisi Politik Dibungkus Retorika Kedaulatan
Ketua Umum Yayasan Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR), H. Huzrin Hood, mengingatkan bahwa perjuangan membentuk Provinsi Kepulauan Riau dulu penuh lika-liku dan tantangan. Ia mempertanyakan urgensi pembentukan provinsi baru, yang dikhawatirkan hanya menjadi lahan bancakan segelintir elite.
“Dulu, ketika Kepri ingin berdiri sendiri, banyak yang menolak dengan alasan kesejahteraan rakyat. Sekarang, setelah lebih dari dua dekade, coba lihat! Apakah rakyat yang menikmati pembangunan? Atau hanya segelintir orang yang membangun rumah-rumah megah? Kita harus belajar dari sejarah agar tak mengulang kesalahan yang sama,” tegas Huzrin Hood.
Ia juga menyoroti kebijakan moratorium pemekaran daerah yang dikeluarkan pemerintah pusat. Menurutnya, alasan pembentukan Provinsi Natuna-Anambas yang berkutat pada isu pertahanan negara belum cukup untuk membenarkan pemekaran.
“Apakah dengan alasan berbatasan dengan negara lain lantas harus membentuk provinsi baru? Kita harus berpikir panjang, jangan sampai ini menimbulkan kecemburuan sosial atau bahkan konflik baru,” tambahnya.
DPRD Kepri Melangkahi Mekanisme?
Seorang sumber yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa keputusan penting seperti pemekaran wilayah harus melalui sidang paripurna DPRD. Jika benar Ketua DPRD Kepri bergerak sendiri tanpa melalui prosedur ini, maka ada indikasi kuat bahwa lembaga legislatif telah kehilangan marwahnya.
“DPRD itu punya fungsi budgeting, controlling, dan pengawasan. Kalau prosedur pengambilan keputusan dilangkahi, maka ini menjadi sinyal berbahaya bagi demokrasi dan tata kelola pemerintahan di Kepri,” katanya dengan nada tegas.
Namun, dalam dokumen yang beredar, DPRD Kepri justru secara resmi mengirimkan surat dukungan kepada Menteri Dalam Negeri RI. Dalam surat bernomor 160/167/DPRD/III/2025, DPRD menyatakan bahwa pemekaran ini didasarkan pada kajian akademik dan aspirasi masyarakat.
Dalam surat itu, DPRD Kepri menegaskan bahwa Natuna dan Anambas memiliki karakteristik khusus, berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, serta memiliki kepentingan strategis bagi pertahanan negara. Mereka juga berargumen bahwa pemekaran akan mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama: apakah pemekaran ini benar-benar untuk rakyat, atau hanya proyek politik semata?
Ketua IWO Indonesia Kepri: “Ini Proyek Oligarki Politik!”
Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, Nursalim Turatea, secara terbuka mengecam langkah DPRD yang diduga melangkahi prosedur. Menurutnya, wacana pemekaran ini lebih terlihat sebagai proyek oligarki politik ketimbang upaya serius meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Rakyat Natuna dan Anambas harus membuka mata! Ini bukan tentang kepentingan rakyat, ini soal bagaimana elite politik membangun kerajaan kecil mereka sendiri. Kalau ini benar-benar untuk kesejahteraan, mengapa kita tidak melihat analisis anggaran yang transparan? Mengapa DPRD tidak membuka forum terbuka bagi masyarakat?” tegasnya.
Nursalim menambahkan bahwa ada banyak contoh pemekaran daerah yang justru memperburuk kondisi masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana banyak provinsi baru justru mengalami stagnasi pembangunan karena anggaran hanya tersedot untuk membiayai birokrasi.
“Lihatlah bagaimana banyak DOB yang gagal memberikan kesejahteraan. Jika provinsi ini jadi dimekarkan, saya ingin tahu, siapa yang akan menjadi gubernur pertamanya? Apakah rakyat Natuna-Anambas yang memilih, atau elite yang sudah menyiapkan skenarionya?” sindirnya.
Efisiensi Anggaran vs. Ambisi Politik
Di tengah kebijakan Presiden yang menekankan efisiensi anggaran, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2025, pemekaran Natuna-Anambas semakin menuai tanda tanya. Dengan hanya dua kabupaten, apakah provinsi ini akan memiliki kekuatan fiskal yang cukup?
Jika pemekaran dipaksakan tanpa kajian matang, bukan tidak mungkin akan muncul ketimpangan baru yang justru menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan yang dijanjikan.
Seharusnya, pemekaran wilayah bukan sekadar proyek elite, melainkan solusi konkret bagi pelayanan publik yang lebih baik. Jika hanya menjadi ajang pembagian kekuasaan, maka rakyat Natuna dan Anambas harus bersiap melihat sejarah yang berulang: kekayaan daerah dihisap, sementara kesejahteraan tetap menjadi ilusi.
Akankah DPRD Kepri Mendapatkan Legitimasi Penuh?
Dengan kontroversi yang terus bergulir, wacana pemekaran Natuna-Anambas kini berada di persimpangan. Jika pemekaran tetap dipaksakan tanpa kajian komprehensif dan legitimasi penuh dari DPRD serta masyarakat luas, maka ini bukan hanya pelanggaran prosedural, tetapi juga pengkhianatan terhadap demokrasi.
Apakah pemekaran ini akan benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyat? Atau hanya menjadi panggung politik baru bagi segelintir elite? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun satu hal yang pasti, rakyat Natuna dan Anambas harus bersiap menghadapi babak baru pertarungan kepentingan yang mungkin lebih ganas dari sebelumnya. (ARF –Yanti/ Tim Redaksi)