BINTAN, JANTUNG NEGERI MELAYU: MENYUSURI JEJAK PERADABAN 865 TAHUN KERAJAAN BINTAN

Bintan Bukit Batu, 23 April 2025 – Dalam doa selamat yang digelar untuk pembangunan kompleks pemakaman di Bukit Kara, tokoh sentral perjuangan Provinsi Kepulauan Riau dan Ketua Umum BP3KR Majelis Rakyat Kepri, H. Huzrin Hood, menegaskan kembali pentingnya memaknai Bukit Batu sebagai tempat suci dalam lintasan sejarah panjang negeri Melayu.

“Tempat ini bukanlah tempat biasa. Di sinilah jejak peradaban Melayu bermula dan mencetak sejarah. Ini negeri Melayu. Saya ingin mengulang kembali kenangan tahun 2007, ketika Bapak Imam Sudrajat dan kawan-kawan datang ke rumah meminta saya menjadi Pemangku Adat Bintan. Kemudian, pada tanggal 12 Desember 2012, saya dinobatkan sebagai Sultan. Namun, beberapa waktu lalu, saya nyaris dimakzulkan,” ujarnya, mengenang.

Tahun ini, bertepatan dengan peringatan 865 tahun Kerajaan Bintan, menjadi momentum besar untuk menggali kembali akar sejarah Melayu yang telah mengakar kuat sejak abad ke-12. Perayaan ini dijadwalkan berlangsung pada tanggal 1 Muharram 1447 H atau 27 Juni 2025, dan akan berlangsung selama tiga hari, bertepatan dengan libur akhir pekan nasional. Seminar bertaraf internasional pun akan digelar, menghadirkan pakar-pakar sejarah dari Malaysia dan Jakarta guna menjembatani pemahaman mendalam tentang eksistensi dan peran sentral Kerajaan Bintan dalam sejarah peradaban Melayu.

Kerajaan Bintan adalah sebuah kerajaan Melayu tua yang telah eksis sejak tahun 1160 Masehi, tercatat dalam naskah-naskah klasik seperti Sulalatus Salatin, Hikayat Hang Tuah, Tuhfat an-Nafis, hingga catatan sejarah modern dari berbagai penulis terkemuka. Sebagai bagian dari mandala Sriwijaya, Bintan memiliki kedudukan strategis sebagai negeri taklukan yang tetap otonom dengan pemerintahan rajanya sendiri.

Raja pertama Bintan, Azar Aya, meneruskan kekuasaan kepada putranya, Iskandar Syah. Namun, ketika Iskandar Syah wafat tanpa putra laki-laki, pemerintah dialihkan kepada permaisurinya, Ratu Shahedar Syah. Beliau dikenal sebagai ratu pertama di Tanah Melayu yang memakai nobat dalam pelantikan—tradisi sakral yang kelak dicontoh oleh seluruh kerajaan Melayu di Nusantara.

Bintan juga mencatat sejarah penting ketika Ratu Shahedar Syah menikahkan putrinya, Wan Sri Beni, dengan Sang Nila Utama dari Palembang, yang kemudian menjadi Raja Bintan dan mendirikan Kerajaan Singapura di Temasik. Dari keturunan Sang Nila Utama inilah lahir dinasti penguasa Singapura dan Malaka, hingga akhirnya Parameswara, keturunannya, mendirikan Kerajaan Melaka pada tahun 1403.

Setelah Sang Nila Utama, Bintan tetap eksis sebagai kerajaan di bawah pemerintahan Tun Telanai dan keturunannya hingga tahun 1424. Karena dianggap membangkang, Bintan dianeksasi oleh Kesultanan Melaka dan dijadikan negeri pegangan Bendahara. Wilayah istana Bendahara ini kini dikenal sebagai Kampung Bendahara di sekitar Sungai Nuyung.

Perjalanan sejarah Bintan semakin signifikan ketika pada tahun 1511, setelah jatuhnya Kota Melaka ke tangan Portugis, Sultan Mahmud Syah I memindahkan pusat pemerintahan ke Bintan dan mendirikan benteng di Kota Kara. Bahkan tokoh legendaris Hang Tuah dikabarkan wafat di Bintan pada tahun 1513, setelah kembali dari pengabdian panjangnya di Melaka.

Namun, kedigdayaan Bintan kembali diuji pada tahun 1526 ketika Kota Kara dan Kopak direbut Portugis setelah enam kali serangan. Sultan Mahmud Syah pun menyingkir ke Kampar dan wafat di sana. Bintan lalu menjadi bagian dari Kerajaan Johor, dan dijadikan pangkalan militer di bawah komando para laksamana Johor, termasuk Hang Nadim dan Laksamana Megat Sri Rama.

Ketika Kerajaan Johor runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Riau-Lingga pada tahun 1722, Bintan menjadi daerah kekuasaan Temenggung Riau bersama Singapura dan Johor. Namun kekuasaan tradisional Melayu berakhir tahun 1913 ketika Riau-Lingga ditaklukkan Belanda.

Dalam era Republik Indonesia, Bintan berkembang menjadi tiga kecamatan dan kini menjadi kabupaten tersendiri dalam Provinsi Kepulauan Riau. Namun, jejak kejayaan masa lalu tak pernah pudar. Dari sinilah peradaban Melayu bermula, dan di sinilah pula titik akhirnya tercatat.

Ulang tahun ke-865 Kerajaan Bintan kali ini mengangkat jargon yang sarat makna: “865 Tahun Kerajaan Bintan. Jejak panjang sejarah dan peradaban Melayu. Bermula di Bintan dan berakhir di Bintan. Bintan, Jantung Negeri Melayu. Dari sini darah dan jejak peradaban Melayu mengalir.”

Semangat ini bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan ajakan untuk meneguhkan kembali jati diri Melayu dalam kebudayaan nasional dan internasional. Sebab Bintan bukan hanya tempat, tapi sumber denyut nadi sejarah peradaban Melayu yang tak lekang oleh zaman.  (Yti/Arf)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *