Keberkahan atau Malapetaka? Pro-Kontra Sedimentasi Laut di Bintan Pesisir

Bintan, 20 April 2025 – Suasana Gedung Serbaguna Desa Numbing, Kecamatan Bintan Pesisir, memanas oleh pertemuan antara harapan pembangunan dan kekhawatiran akan rusaknya ekosistem laut. PT Berkah Lautan Kepri (BLK) menggelar Konsultasi Publik untuk menyampaikan rencana besar mereka: pengelolaan hasil sedimentasi laut di kawasan seluas lebih dari 2.000 hektar di Blok B.1, yang merupakan bagian dari lima blok yang telah ditentukan dalam izin usaha.

Dalam forum yang dihadiri berbagai pihak, mulai dari direktur perusahaan, perwakilan pemerintah daerah, hingga masyarakat nelayan, terungkap beragam tanggapan terkait proyek ini. Di satu sisi, PT BLK berupaya meyakinkan masyarakat akan manfaat dari pengelolaan sedimentasi ini. Di sisi lain, warga—khususnya nelayan—menyuarakan kekhawatiran yang dalam mengenai masa depan mata pencaharian mereka.

Direktur PT BLK, Jusri Sabri, menyampaikan bahwa kegiatan ini masih dalam tahap konsolidasi dan koordinasi. Ia mengakui adanya penolakan dari sebagian masyarakat, namun menjelaskan bahwa pihaknya belum dapat menyampaikan informasi secara menyeluruh karena keterbatasan teknis—terutama kerusakan pada alat proyektor. “Kami ingin menjelaskan semuanya secara terbuka, namun terpaksa hanya bisa menjelaskan secara lisan,” ucapnya.

Ia juga menyatakan bahwa perusahaan akan mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2023 yang menjadi dasar hukum kegiatan tersebut. Mengenai kompensasi kepada masyarakat terdampak, Jusri menjamin akan disesuaikan dengan dampaknya.

Namun, janji dan penjelasan tersebut belum mampu meredakan kekhawatiran masyarakat pesisir. Sejumlah warga dan pemerhati lingkungan laut menyuarakan dengan lantang bahwa sedimentasi yang diklaim sebagai “pasir laut” tersebut sejatinya adalah lumpur dan sampah laut yang berpotensi merusak habitat laut secara permanen. “Laut Numbing dan sekitarnya adalah tulang punggung kehidupan kami. Dari sanalah kami bertahan hidup sebagai nelayan,” tegas seorang warga.

Bukan tanpa alasan masyarakat bersikeras. Mereka menyebut bahwa wilayah laut Bintan Pesisir, termasuk Kijang, Mantang, Kelong, Air Kelubi, hingga Gunung Kijang, masih kaya akan terumbu karang yang sehat. Menurut mereka, aktivitas pengerukan pasir laut justru akan menimbun karang, mencemari air, dan mengganggu siklus ekosistem yang telah bertahan selama puluhan tahun. “Kalau laut rusak, dari mana kami mencari ikan? Ini bukan cuma soal proyek, ini soal masa depan kami,” ujar salah satu nelayan yang hadir dalam forum.

Penolakan tidak hanya datang dari kekhawatiran ekologis, tetapi juga dari ketiadaan kejelasan tentang siapa yang sebenarnya akan diuntungkan. Masyarakat pesisir merasa bahwa laut selama ini menjadi ruang ekonomi rakyat, bukan arena eksploitasi oleh korporasi. “Kami tidak tahu siapa yang sebenarnya diuntungkan. Negara? Atau perusahaan? Yang jelas, kami mencari nafkah di laut ini,” ucap warga lainnya.

Menanggapi hal ini, Direktur PT BLK menekankan bahwa metode yang digunakan bukanlah pertambangan dalam arti konvensional. Ia menyebut bahwa alat yang akan digunakan adalah teknologi modern yang diklaim tidak merusak ekosistem, dan bahkan dapat membantu membebaskan terumbu karang dari tumpukan pasir. “Kami tidak menggunakan alat berat sembarangan apalagi buatan Cina. Teknologi kami sudah kami pastikan tidak akan merusak,” ucap Jusri.

Namun, janji teknologi ramah lingkungan masih diragukan efektivitas dan implementasinya di lapangan. Belum ada studi terbuka dan komprehensif yang membuktikan bahwa kegiatan pengelolaan sedimentasi laut tersebut benar-benar aman bagi lingkungan dan nelayan. Masyarakat mendesak agar dilakukan kajian lingkungan secara independen yang melibatkan ahli kelautan, LSM lingkungan, dan tokoh masyarakat.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepri, Hendri, serta Kepala DLH Kabupaten Bintan, Niken Wulandari, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Namun, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari pihak pemerintah daerah mengenai langkah konkret terhadap masukan masyarakat. Camat Bintan Pesisir, Assun Ani, dan Kepala Desa Numbing, Heri Santoso, juga menyimak dengan saksama setiap keluhan dan masukan masyarakat yang hadir.

Forum ini memperlihatkan ketegangan antara kepentingan pembangunan dan kelestarian lingkungan. Jika tidak ditangani dengan transparansi dan partisipasi publik yang nyata, proyek ini berpotensi menimbulkan konflik sosial yang lebih luas, dan bahkan mengancam keberlanjutan kehidupan nelayan tradisional di Kepulauan Riau.

Keberkahan atau malapetaka, semuanya kini bergantung pada bagaimana para pemangku kepentingan merespons suara masyarakat. Satu hal yang pasti, laut bagi masyarakat Numbing dan sekitarnya bukan sekadar bentang air asin—ia adalah sumber kehidupan yang tidak tergantikan.  (Yanti/ARF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *