Ketika Keadilan Diuji di Ruang Perawatan: Rumah Sakit Jasmine Disorot karena Diduga Abaikan Hak Pasien, Advokat dan Pakar Serukan Investigasi Independen

Batam, sidikfokus.id – 25 Mei 2025 — Kasus yang tengah mencuat di Rumah Sakit Jasmine, Batam, mengguncang nurani publik. Sebuah keluarga pasien, melalui kuasa hukumnya, melayangkan kritik keras terhadap dugaan kelalaian dalam pelayanan medis yang diterima klien mereka. Tuduhan ini bukan semata menyangkut aspek teknis kedokteran, melainkan juga menyentuh dimensi kemanusiaan, transparansi, dan etika profesi dalam sistem layanan kesehatan.

Advokat Agus Simanjuntak, yang dipercaya mewakili keluarga pasien, menyampaikan bahwa hingga saat ini pihak rumah sakit terkesan menutup ruang komunikasi yang seharusnya terbuka, konstruktif, dan solutif.

“Jika pihak rumah sakit merasa tidak bersalah dan telah menjalankan seluruh prosedur medis dengan benar, mengapa enggan berdialog? Menghindari komunikasi justru menimbulkan kesan bahwa ada sesuatu yang ditutup-tutupi,” ujarnya penuh tekanan, saat diwawancarai di Batam.

Agus juga mengangkat isu diskriminasi perlakuan terhadap pasien. Menurutnya, kualitas pelayanan seharusnya tidak ditentukan oleh status sosial atau kemampuan finansial, melainkan oleh prinsip kesetaraan hak setiap manusia untuk memperoleh perawatan terbaik.

Senada dengan Agus, Dr. Ibrahim — mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kepulauan Riau sekaligus mantan Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) wilayah Kepri — menegaskan bahwa komunikasi empatik merupakan inti dari profesi medis yang beradab.

“Tenaga medis mungkin telah bekerja sesuai standar, tetapi rasa empati dan keterbukaan sangat diperlukan. Menutup diri dari kritik adalah bentuk kegagalan dalam membangun kepercayaan masyarakat,” tegas Dr. Ibrahim saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Ia juga mengingatkan bahwa rumah sakit dan para dokter tidak bisa semata-mata berlindung di balik institusi profesi ketika ada keluhan atau laporan dari masyarakat.

“Sengketa layanan kesehatan kerap bermula dari miskomunikasi. Dialog terbuka antara pihak rumah sakit dan keluarga pasien adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan perbedaan persepsi, sebelum berubah menjadi polemik yang lebih besar,” ujarnya.

Dr. Ibrahim secara khusus menyerukan pentingnya dilakukan audit medis dan investigasi kematian yang bersifat independen, menyeluruh, dan bebas dari konflik kepentingan.

“Jangan hanya mengandalkan audit internal atau penilaian organisasi profesi yang berpotensi tidak objektif. Bentuk tim independen, libatkan semua pihak termasuk keluarga pasien dan kuasa hukumnya, agar keadilan bisa ditegakkan dengan proporsional,” imbuhnya.

Pihak kuasa hukum mengaku telah berinisiatif membuka ruang dialog secara etis dan profesional, namun tidak mendapat respons yang memadai dari manajemen Rumah Sakit Jasmine. Jika sikap tertutup ini berlanjut, langkah hukum menjadi opsi yang tak terhindarkan.

“Kami tidak mencari sensasi. Kami mencari keadilan. Jika jalur mediasi tak dibuka, kami akan menempuh proses hukum, termasuk melaporkan dugaan pelanggaran etik, disiplin profesi, dan kemungkinan tindak pidana,” tegas Agus Simanjuntak.

Kasus ini memperpanjang daftar persoalan sistem layanan kesehatan di Indonesia yang kerap dituding kurang transparan dan akuntabel, terutama dalam penanganan konflik antara pihak rumah sakit dan keluarga pasien. Ketika nyawa dipertaruhkan, kejujuran bukanlah pilihan, melainkan kewajiban.

“Publik tidak butuh retorika. Publik butuh kepastian bahwa rumah sakit adalah tempat perlindungan terakhir yang manusiawi dan adil, bukan sekadar institusi medis yang kebal kritik,” pungkas Agus, mengakhiri keterangannya.

Kini, masyarakat menunggu apakah Rumah Sakit Jasmine akan mengambil langkah terbuka untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, atau memilih tetap diam di balik dinding kekuasaan institusional yang makin lama makin menggerus kepercayaan publik.(Nursalim Turatea/Yti)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *