Kontroversi Pembongkaran Hotel Pura Jaya di Batam: Antara Sengketa Hukum dan Klaim Dukungan LAM Kepri
Tanjung Pinang, 28 Maret 2025 – Polemik terkait pembongkaran Hotel Pura Jaya di Batam terus menjadi perbincangan hangat. Isu ini semakin memanas setelah muncul pernyataan dari pengurus Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau, Baharudin Idris atau yang dikenal sebagai Oom, yang menyoroti keterlibatan tokoh-tokoh Melayu dalam sengketa ini.
Salah satu isu yang berkembang adalah tudingan bahwa pihak Hotel Pura Jaya tidak membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) selama 30 tahun dan diberikan waktu satu tahun untuk melunasinya, tetapi tetap tidak diselesaikan. Pihak manajemen hotel membantah keras tuduhan tersebut, menegaskan bahwa informasi yang beredar tidak benar. Menurut mereka, mustahil usaha mereka tetap beroperasi tanpa membayar UWTO, karena itu merupakan persyaratan utama dalam menjalankan bisnis di Batam. Mereka juga menilai isu ini tidak sekadar berkaitan dengan kewajiban administratif, melainkan juga melibatkan berbagai kepentingan bisnis yang lebih luas.
Dukungan dari LAM dan tokoh-tokoh Melayu terhadap Hotel Pura Jaya menjadi perdebatan tersendiri. Menurut pihak hotel, dukungan tersebut wajar karena pemilik usaha adalah Ketua Saudagar Rumpun Melayu (SRM) Batam, yang merupakan bagian dari LAM. Mereka menganggap tuduhan bahwa lembaga adat Melayu diseret dalam urusan bisnis ini sebagai sesuatu yang keliru. Sebagai bagian dari keluarga besar Melayu, mereka merasa wajar mendapatkan dukungan dari LAM dalam menghadapi persoalan yang mereka anggap tidak adil.
Di pihak lain, Baharudin Idris menegaskan bahwa dirinya tidak menentang langkah hukum yang ditempuh oleh pihak hotel. Justru ia mendukung adanya proses hukum agar persoalan ini bisa terselesaikan dengan transparan. Namun, yang ia soroti adalah cara pihak hotel yang menurutnya terlalu mengaitkan lembaga adat Melayu dengan permasalahan bisnis yang mereka hadapi. Baginya, kepentingan bisnis seharusnya tetap berada dalam ranah ekonomi tanpa perlu membawa simbol-simbol budaya atau identitas adat.
Ia menegaskan bahwa lembaga adat Melayu tidak boleh dijadikan alat dalam pertarungan bisnis, karena hal itu dapat menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat. Menurutnya, persoalan ini harus diselesaikan secara hukum tanpa perlu menggiring opini publik seolah-olah lembaga adat secara kelembagaan mendukung salah satu pihak.
Polemik ini mencerminkan betapa kompleksnya hubungan antara kepentingan ekonomi, hukum, dan adat dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Riau. Sengketa ini masih jauh dari kata selesai, dan hanya waktu yang bisa menentukan ke mana arah penyelesaiannya. ARF /Yti