Pulau Penyengat, 18 April 2025 Suara Pewaris Kesultanan Riau-Lingga: “Amanah Tak Pernah Punah
Di tengah gema sejarah yang masih terasa di Pulau Penyengat, Tengku Muhammad Fuad, salah satu pewaris Kesultanan Riau-Lingga, mengungkapkan suara hati dan tekad keluarga besar Kesultanan untuk menghidupkan kembali warisan yang mereka emban. Sebagai penerima amanah langsung dari cicit Sultan Abdurrahman Mu’adzam Syah (1885–1913), yakni Tengku Abdurrahman bin Tengku Muhammad Yusuf yang berdomisili di Singapura, ia merasa terpanggil untuk menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai sejarah dan hak-hak yang melekat pada keluarga besar Kesultanan, khususnya dalam kaitannya dengan tanah-tanah warisan yang kini menjadi perdebatan di Kepulauan Riau.
“Amanah tak pernah punah, dan tidak juga akan pernah punah,” tutur Tengku Fuad dengan nada tegas namun sarat makna. Amanah tersebut kini hendak dijalankan melalui pembentukan Lembaga Adat Kesultanan Riau yang disepakati oleh keluarga Sultan, baik yang berada di Singapura maupun di Terengganu, Malaysia. Lembaga ini menjadi wadah resmi yang memegang tanggung jawab moral dan historis untuk memperjuangkan aset-aset peninggalan Kesultanan.
Salah satu isu utama yang mereka perjuangkan adalah pengakuan atas tanah di Pulau Batam. Tengku Fuad menyampaikan bahwa geran tanah atas wilayah itu masih berada di tangan keluarga Kesultanan. Maka, harapannya, pemerintah yang memegang kekuasaan saat ini dapat bertindak dengan bijaksana dan tidak mengabaikan asal-usul serta riwayat historis tanah tersebut. “Segala sesuatu ada awal dan akhirnya. Tidak bisa seenaknya mengklaim tanpa menghargai akar sejarah. Kami tidak mengerti dasar hukum atau aturan apa yang dipakai oleh pihak penguasa, hingga terkesan membabi buta dalam menguasai lahan,” tambahnya.
Lebih lanjut, mereka tidak menentang pembangunan, namun menuntut agar pengakuan terhadap kepemilikan yang sah tetap dijunjung. Bila ada pengalihan hak, maka seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang adil dan bermartabat, termasuk pengadilan, bukan dengan pendekatan sepihak yang mengabaikan sejarah.
Sikap ini tercermin jelas dalam kasus Bapak Alamsyah, warga yang menolak kompensasi uang sebesar Rp230 juta dari pihak Badan Pengusahaan (BP) Batam atas lahan dan rumah yang ia tempati. “Saya tidak terima uang itu. Kalau mau ganti rugi, berikan Rp500 juta dan bangunkan kembali masjid serta fasilitas sosial di tempat baru sebagaimana yang dulu ada,” ucapnya tegas. Tawaran itu pun ditolak oleh pihak perusahaan, karena dianggap terlalu besar.
Penolakan ini bukan semata persoalan nominal, melainkan bagian dari prinsip mempertahankan hak dan warisan. Tengku Ubaidillah, tokoh lain dari keluarga Kesultanan, menambahkan bahwa perjuangan mereka adalah bentuk ikhtiar menjaga martabat, bukan aksi untuk menentang pembangunan. Namun ia juga tak menampik rasa kecewa mendalam atas sikap penguasa yang seolah melupakan eksistensi Kesultanan Riau-Lingga.
“Jangan salahkan kami jika akhirnya kami merasa bahwa penguasa saat ini lebih kejam daripada penjajah. Penjajah saja masih mengakui Kesultanan sebagai pemilik wilayah, memberikan bagian dan hak. Tapi penguasa sekarang? Tidak sepeser pun diberikan kepada keluarga Sultan selama lebih dari 78 tahun. Mereka lupa bahwa keluarga Sultan Abdulrahman Mu’adzam Syah di Penyengat hidup melarat, menjadi korban sejarah. Mana ada korban yang hidup enak? Kalau enak, bukan korban namanya.”
Pesan ini bukan hanya seruan kepada pemerintah, melainkan panggilan kepada seluruh masyarakat, terutama generasi muda Melayu, untuk tidak melupakan akar sejarah dan identitas. Penghargaan terhadap sejarah adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur, dan dari sanalah martabat sebuah bangsa bisa dijaga. (Yti / Arf)