RKPD 2026 Kepulauan Riau: Transparansi Dipertanyakan, Proses Perencanaan Sarat Kejanggalan
Tanjung Pinang, 22 Maret 2025 – Proses penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2026 di Provinsi Kepulauan Riau kembali menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama terkait dengan transparansi, akuntabilitas, serta potensi korupsi yang bisa timbul dalam tahapannya. Forum konsultasi publik yang digelar sebagai bagian dari mekanisme perencanaan pembangunan justru dinilai tidak berjalan sesuai dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi aktif masyarakat.
Pengamat kebijakan daerah, Datuk Haidar Rahmat, mengungkapkan bahwa forum konsultasi publik yang seharusnya menjadi ruang bagi masyarakat dan pemangku kepentingan dalam menyampaikan aspirasi serta memperoleh gambaran komprehensif tentang RKPD 2026, justru lebih menyerupai forum diskusi terbatas atau focus group discussion (FGD). Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana forum tersebut telah memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 86 Tahun 2017 tentang evaluasi perencanaan pembangunan daerah.
Menurut Haidar, transparansi dalam forum ini sangat minim. Salah satu indikasi yang mencolok adalah tidak adanya pemaparan substansi utama RKPD 2026 secara jelas. Sejumlah aspek krusial yang seharusnya disampaikan, seperti kapasitas riil keuangan daerah, estimasi Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) untuk APBD 2026, daftar program kegiatan, serta indikator target kinerja, tidak disampaikan secara terbuka.
“Ini bukan lagi forum konsultasi publik yang aspiratif, melainkan hanya formalitas belaka. Jika aspek-aspek utama RKPD tidak dipaparkan dengan jelas, bagaimana mungkin masyarakat dan pemangku kepentingan dapat memahami arah pembangunan daerah yang akan dijalankan? Seharusnya forum ini menjadi sarana evaluasi dan penyelarasan kebijakan, bukan sekadar ritual prosedural,” tegas Haidar.
Lebih lanjut, ia juga mengkritisi mekanisme forum yang tidak transparan dan cenderung manipulatif. Salah satu indikasi kuat adalah adanya penandatanganan kesepakatan peserta forum di awal acara, sebelum masukan, saran, dan aspirasi peserta disampaikan. Hal ini jelas mencerminkan bahwa forum tersebut hanya berfungsi sebagai pemenuhan syarat administratif tanpa benar-benar menjalankan prinsip bottom-up planning yang bertujuan menyerap aspirasi masyarakat dan menyelaraskannya dengan kebijakan pembangunan daerah.
“Kondisi ini sangat berbahaya bagi demokrasi perencanaan pembangunan daerah. Dengan pola semacam ini, RKPD, RPJMD, RPJPD, dan dokumen perencanaan lainnya hanya menjadi alat formalitas yang seakan-akan telah mengakomodasi aspirasi publik, padahal faktanya tidak demikian,” tambahnya.
Mencegah Potensi Korupsi dalam RKPD 2026
Selain aspek transparansi yang lemah, proses perencanaan RKPD 2026 juga dinilai berpotensi membuka celah bagi praktik korupsi. Bapak Bagus Agung, M.Si., selaku perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, menekankan bahwa dalam proses penyusunan RKPD, perlu ada mekanisme pengawasan yang kuat guna mencegah terjadinya penyalahgunaan anggaran yang dapat merugikan keuangan daerah.
Menurut Bagus, Monitoring Center Pembangunan (MCP) harus berperan aktif dalam mengidentifikasi potensi korupsi yang mungkin timbul dalam proses perencanaan. Pasalnya, berdasarkan Pasal 258 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014, tujuan utama pembangunan daerah adalah memberikan akses layanan yang berkualitas bagi masyarakat. Jika proses perencanaan tidak transparan dan sistem pengawasan lemah, maka ada kemungkinan besar anggaran akan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
“Pemerintah daerah di seluruh Indonesia saat ini sedang menyusun dokumen perencanaan. Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa dokumen RKPD 2026 yang dihasilkan benar-benar terkonsolidasi dengan baik, transparan, dan terbebas dari praktik korupsi,” tegasnya.
Bagus juga menekankan bahwa penyusunan RKPD 2026 harus lebih mengedepankan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Jika tidak ada pengawasan yang ketat, maka ada kemungkinan besar dana publik tidak akan digunakan sesuai dengan prioritas pembangunan yang telah direncanakan.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas dan mekanisme pengawasan di tingkat pemerintah daerah. Salah satu caranya adalah dengan membuka akses informasi yang lebih luas kepada publik, sehingga masyarakat dapat turut serta dalam memantau proses perencanaan dan implementasi program pembangunan.
“Kami berharap forum ini menjadi momentum bagi pimpinan dan anggota DPRD untuk lebih kreatif dalam menyikapi RKPD 2026. Jangan hanya sekadar menyetujui rancangan yang tidak jelas transparansinya. DPRD memiliki kewenangan untuk mengawal dan memastikan bahwa RKPD yang disusun benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat,” ungkapnya.
Reformasi Sistem Perencanaan, Harapan atau Utopia?
Kritik yang dilontarkan terhadap penyusunan RKPD 2026 di Kepulauan Riau menunjukkan bahwa masih banyak kelemahan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah. Jika pemerintah daerah tidak segera melakukan reformasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran, maka pembangunan yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat berisiko melenceng dan hanya menjadi alat politik atau ajang bagi oknum tertentu untuk melakukan praktik korupsi.
Langkah antisipatif harus segera diambil untuk memastikan bahwa perencanaan pembangunan benar-benar bersifat transparan, akuntabel, dan berbasis kebutuhan masyarakat. Salah satu solusi yang diusulkan adalah penguatan peran pengawasan publik dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi pembangunan. Dengan keterlibatan aktif masyarakat, diharapkan RKPD tidak hanya menjadi dokumen prosedural, tetapi benar-benar menjadi instrumen strategis yang membawa manfaat nyata bagi daerah dan warganya.
Dalam konteks ini, peran DPRD, lembaga pengawas, serta media massa menjadi sangat penting dalam mengawal proses perencanaan agar tidak menyimpang dari tujuan awalnya. Jika mekanisme pengawasan berjalan optimal dan transparansi dapat ditingkatkan, maka potensi korupsi dalam RKPD 2026 dapat diminimalisir.
Namun, tanpa perubahan signifikan dalam pola perencanaan dan pengawasan, maka reformasi sistem perencanaan pembangunan daerah hanya akan menjadi utopia yang sulit terwujud. Oleh karena itu, tantangan ke depan bukan hanya sekadar menata ulang sistem perencanaan, tetapi juga memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab. (Yanti/ARF)