Tanjung Pinang, 22 April 2025 Wacana pembentukan Daerah Otonomi
Baru (DOB) yang mencakup Natuna dan Anambas kembali mencuat ke permukaan. Namun, di balik semangat sebagian elite politik lokal yang mendorong gagasan tersebut, terdapat keresahan yang mendalam dari berbagai kalangan. Para pemerhati wilayah mempertanyakan urgensi, kesiapan, serta kejujuran narasi publik yang berkembang. Benarkah ini murni demi kesejahteraan masyarakat, atau justru ada upaya politisasi dan pembodohan massal?
Seorang pemerhati yang enggan disebutkan namanya menilai bahwa isu ini telah disajikan ke masyarakat secara tidak proporsional dan tanpa edukasi yang memadai. Ia menekankan, pembentukan provinsi baru harus mengikuti koridor hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut, syarat administratif dan teknis pembentukan provinsi sangatlah ketat, mulai dari jumlah penduduk, kesiapan infrastruktur, hingga kajian akademik dan persetujuan politik di berbagai tingkatan.
“Jangan seolah-olah provinsi ini sebentar lagi jadi. Aturannya sudah jelas dari pasal 33 hingga 43 UU 23/2014. Mau membentuk provinsi khusus? Buat undang-undang baru, cabut dulu UU yang lama. Ini bukan soal setuju atau tidak setuju, ini soal prosedur dan logika hukum,” tegasnya.
Wacana pembentukan Provinsi Natuna-Anambas dipandang terlalu dipaksakan karena tidak didukung data dan kesiapan nyata. Bahkan, disebutkan bahwa antusiasme Bupati Natuna terhadap wacana ini menunjukkan minimnya pemahaman terhadap regulasi. “Seharusnya bawahannya memberikan pemahaman. Kalau beliau tidak menguasai regulasi, bagaimana bisa memimpin proses besar seperti pembentukan provinsi?”
Sementara itu, dari aspek sosial budaya, juga timbul keraguan. Hubungan historis, adat, dan kebiasaan antara Anambas dan Tanjung Pinang dinilai lebih dekat ketimbang dengan Natuna. “Kenapa Natuna ingin memasukkan Anambas? Karena butuh untuk memenuhi syarat jumlah penduduk. Tapi jangan paksakan kehendak, lihat dulu apakah Anambas mau dan siap?” ungkap sumber tersebut.
Poin paling krusial yang sering luput dalam diskursus ini adalah tujuan utama dari pemekaran wilayah: meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, para elit politik dinilai lebih sibuk berwacana dibanding menyiapkan SDM dan infrastruktur dasar.
“SDM kita terbatas. Untuk mengelola lima kabupaten/kota saja masih kekurangan, apalagi kalau dibentuk provinsi baru. Kalau nanti malah orang luar yang datang memimpin, apa tidak jadi masalah baru?” kritiknya lagi.
Kekhawatiran lain yang mencuat adalah dampak psikologis kepada masyarakat akar rumput. Sosialisasi yang setengah matang, bahkan manipulatif, telah membuat masyarakat berharap berlebihan. “Mereka berpikir sebentar lagi akan hidup sejahtera, DBH migas mengalir deras, lapangan kerja terbuka. Padahal, faktanya belum tentu seperti itu. Ini bentuk pembodohan,” tambahnya.
Dari sisi regulasi, pemerintah daerah dinilai terlalu gegabah. Belum ada kajian mendalam yang dilakukan oleh lembaga resmi atau akademik. Persetujuan politik yang disebut-sebut sudah didapat, bahkan dari DPRD dan Gubernur, dipertanyakan motifnya. “Apakah ini murni demi rakyat, atau hanya alat politik menjelang pemilu?”
Wakil Bupati Anambas, Raja Bayu, saat dimintai tanggapan lebih memilih fokus pada isu yang lebih realistis dan mendesak. “Kami sedang berupaya meningkatkan PAD, membuka lapangan kerja lewat sektor pariwisata dan maritim. Fokus kami saat ini bukan di provinsi baru, tapi bagaimana mewujudkan harapan masyarakat melalui tahapan yang logis dan sesuai aturan.”
Isu pembentukan DOB Natuna-Anambas ini memang kompleks. Ia menyentuh aspek hukum, sosial, ekonomi, dan politik. Tapi satu hal yang pasti: masyarakat berhak mendapat informasi yang jujur dan akurat, bukan janji-janji manis yang belum tentu bisa ditepati. Maka dari itu, para elite politik diimbau untuk lebih berhati-hati dalam mengelola wacana ini, agar tidak mengorbankan harapan masyarakat demi ambisi segelintir orang.(Yti/Arf)